Menguak
misteri mati suri dalam kaca mata buddhis.
Akhir-akhir
ini banyak fenomena yang terjadi dalam kehidupan seseorang, salah satunya adalah
kehidupan setelah kematian, atau popular orang menyebutnya dengan kata mati suri. Banyak orang mendefinisikan mati
suri sebagai sebuah pengalaman yang benar-benar hidup dan dialami oleh pelaku.
Orang yang mati suri terkadang sering dianggap sudah meninggal, karena tak lagi
bernafas, bahkan ada yang hampir dimakamkan. Ada berbagai pendapat dari
fenomena mati suri, diantaranya adalah Lommel dkk (The Lancet,2001) yang
mengemukakan pendapatnya terhadap fenomena mati suri sebai berikut, mati suri
sebagai ingatan akan keseluruhan kesan selama keaadan khusus, termasuk
elemen-elemen yang spesifik seperti pengalaman keluar tubuh, perasaan yang
menyenangkan, melihat terowongan, bertemu anggota keluarga yang telah meninggal
atau mengalami tinjauan ulang atas kehidupannya. Hasil studi menunjukkan bahwa
rata-rata subjek yang mengalami mati suri kehilangan tanda-tanda kehidupan antara
lima sampai dua puluh menit. Mati suri juga dapat terjadi dalam keadaan
seseorang tidak mendekati kematian. Apa yang membuatnya mengalami kejadian ini
sampai saat ini belum diketahui.
Menurut International Association for Near-Death Studies, tidak ada
pengalaman mati suri yang identik, namun berbagai pengalaman tersebut dapat
menggambarkan suatu pola. Seseorang yang mati suri dapat mengalami satu atau
lebih dari hal-hal berikut ini:
1.
Perasaan bahwa
dirinya meninggalkan tubuhnya dan melayang-layang di atas kepala. Ia kemudian
dapat menggambarkan siapa berada di mana dan apa yang terjadi, kadang-kadang
secara rinci.
2.
Bergerak
melalui ruang atau lorong yang gelap.
3.
Mengalami
emosi yang kuat secara intens, bervariasi dari rasa bahagia sampai teror. Menjumpai
cahaya. Biasanya digambarkan sebagai warna keemasan atau putih dan sangat
memikat serta menyenangkan. Sebaliknya, stimulus yang sama juga dapat dirasakan
sebagai refleksi dari api neraka.
4.
Menerima
beberapa variasi berita yang intinya: 'Ini belum waktumu'.
5.
Bertemu
orang-orang yang telah meninggal yang dikenal maupun tidak, makhluk-makhluk
suci, entitas yang tak teridentifikasikan, makhluk-makhluk bercahaya,
kadang-kadang simbol-simbol keagamaan sendiri atau agama lain.
6.
Tinjauan ulang
kehidupan, mengalami kembali apa yang pernah terjadi dalam hidupnya,
kadang-kadang dari perspektif orang lain yang terlibat. Kesimpulan mengenai
pentingnya hidup dan perubahan-perubahan apa yang dibutuhkan.
7.
Memiliki rasa
pemahaman terhadap segala sesuatu, mengetahui bagaimana semesta alam bekerja.
8.
Mencapai suatu
pembatas dalam rupa pagar, tebing, air, beberapa bentuk pembatas yang tidak
boleh dilewati jika subjek mau hidup kembali.
9.
Dalam beberapa
kasus, memasuki sebuah kota atau perpustakaan.
10. Kasus yang jarang, menerima informasi yang
tidak diketahui sebelumnya. Seperti anak yang diadopsi, orangtua asli yang
tidak diketahui sebelumnya, saudara yang telah meninggal. Ibu yang melakukan
aborsi dan dirahasiakan.
11. Keputusan untuk kembali, baik sukarela atau
dipaksa. Jika sukarela biasanya berhubungan dengan tanggungjawab yang belum
selesai.
12. Kembali pada tubuh fisik.
Secara
medis tidak ada kriteria untuk
mati suri, sama seperti orang yang meninggal, denyut jantung berhenti, fungsi
otak sudah tidak ada tanda-tanda aktivitas, hal itu dijelaskan sebagai suatu
periode ketidaksadaran yang disebabkan oleh tidak tercukupinya suplai darah ke
otak karena sirkulasi darah yang tidak mencukupi pernapasan. Tapi pada orang
mati suri keadaan bisa kembali normal.
Perbedaan
mati suri dan koma.
Koma adalah suatu
keadaan seperti terbius atau
tidur dalam, dimana penderita tidak dapat dibangunkan sama sekali. Hal ini
banyak penyebabnya ,seperti adanya berbagai penyakit, cedera atau kelainan yang
serius bisa mempengaruhi otak dan menyebabkan koma Salah satu bagian otak yang
terletak jauh di dalam batang otak berfungsi mengendalikan tingkat
kesadaran dan secara ritmis merangsang otak untuk terjaga dan siaga. Dalam
keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata, suara
dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik
lainnya untuk melengkapi tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan
atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak bekerja sebagaimana
mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan dan kesiagaan
otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan kesadaran. Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung
singkat atau lama dan bisa bersifat ringan atau sama sekali tidak memberikan
respon.
Rusaknya
rantai telomer dalam susunan gen kita mengakibatkan sel-sel dalam tubuh tidak lagi dapat membelah.
Keadaan itu mengakibatkan tubuh mengalami fase penuaan hingga kematian. Namun demikian,
sebelum fase kematian itu terjadi, kebanyakan orang mengalami fase kemunduran fungsi
otak secara keseluruhan hingga titik kritis.
Pada fase
inilah kesadaran individu mulai berkurang secara drastis yang ditandai dengan
hilangnya reflek pupil hingga hilangnya kemampuan respirasi spontan. Pada saat
itu, alam bawah sadar mengaktifkan sistem sensori otonom yang berhubungan
dengan kelenjar pineal. Reaksi sistem sensori otonom itu mengakibatkan individu
mengalami fase ketika semua memori dalam otaknya kembali ditampilkan.
Keadaan itu
membuat individu mengalami tahap NDE( lihat pada keterangan Mati suri
), beberapa orang dapat selamat dari tahap NDE. Tetapi, jika semua kemunduran otak itu terus berlanjut, maka dapat
dipastikan individu tersebut mengalami kematian
otak. Kematian otak akhirnya menjadi penyebab dari kematian tubuh. Dengan kata lain, kematian terjadi
karena tubuh kehilangan
kekuatan untuk menjalankan semua fungsinya secara total.
Fase kemunduran otak juga
bisa terjadi karena banyak faktor yang mengakibatkan koma. Kasus kecelakaan
hingga penyakit yang menyebabkan cidera otak dapat dapat menjadi faktor yang
mengakibatkan kematian secara langsung, bahkan sebelum rantai telomere.
Pandangan
buddhis terhadap mati suri.
Jadi istilah
mati suri menurut pengertian secara umum adalah saat seseorang dinyatakan mati
secara medis oleh dokter ahli, dimana jangtung pasien berhenti berdetak, tidak
ada pernafasan lagi, lalu beberapa menit atau jam kemudian pasien hidup
kembali.
Begitulah
pandangan-pandangan secara umum maupun sains terhadap fenomena mati suri. Namun tidak lengkap
rasanya jika tidak ada agama yang memandang fenomena tersebut. Salah satu yang
menarik adalah pandangan agama Buddha terhadap misteri mati suri.
Dari sudut pandang Buddhisme, mati
suri hanyalah fenomena lemahnya kesadaran seseorang akibat terganggunya salah
satu organ tubuh (sama seperti sudut pandang psikologi). Pandangan pertama ini
tidak mengenal dan menolak seorang yang mati (benar-benar mati) kemudian hidup lagi.
Alasannya karena seseorang yang dikatakan mati (benar-benar mati) akan langsung
dilahirkan kembali, tanpa ada jedah waktu ataupun alam antara (bardo).
Pandangan pertama ini juga menolak adanya tubuh halus dalam diri manusia yang
akan keluar jika ia mati. Kematian
terjadi apabila kesadaran sudah tidak ada lagi dalam tubuh.Kondisi ini
dapat dibaca dalam Riwayat Hidup Sang Buddha. Beliau pada akhir kehidupanNya,
banyak orang menduga Beliau sudah meninggal. Namun, salah seorang murid Beliau
yang mampu mengetahui keberadaan kesadaran seseorang menyatakan bahwa Beliau
masih hidup bahkan Beliau dalam tahap-tahap meditasi yang tertinggi. Setelah
pada akhirnya kesadaran Beliau tidak ada lagi dalam tubuh, barulah Sang Buddha
dinyatakan mangkat atau wafat.
Dengan
demikian, ketika seseorang terbaring tanpa reaksi sehingga dinyatakan secara
medis sebagai 'mati suri' maupun 'mati klinis', apabila kesadaran masih ada
dalam dirinya, maka orang itu masih disebut hidup dan belum mati atau belum
terlahirkan kembali.
Dalam konsep
Buddhis, mati suri maupun mati klinis bisa diterima keberadaannya dalam arti
memang ia belum mati. Kondisi ini mungkin akan berlanjut kematian atau mungkin
ia kembali hidup dan sehat seperti semula.